Minggu, 16 Juli 2017

KRISIS EKONOMI TINJAUAN EKONOMI ISLAM

                                             

Dari kacamata ekonomi islam, sebuah krisis tidak hanya dilihat dari segi kuantitatif atau fundamental ekonominya saja. Namun lebih pada aspek kualitatif, atau nilai-nilai yang mendasari fondasi ekonomi itu sendiri. Dari sekian banyaknya uraian penyebab krisis hanya sedikit yang menyoroti aspek-aspek keagamaan (religious aspect), aspek etika ekonomi (economic ethical aspects), aspek tingkah laku para pelaku ekonomi (economic behavioral agents), dan aspek-aspek kualitatif lainnya.
Akar Krisis Perspektif Ekonomi Islam
a.         Sistem bunga (riba)
Sistem bunga dalam pada bank konvensional, nasabah akan menerima atau membayar return bersifat fixed yang disebut bunga. Bagi nasabah penabung akan mendapatan bunga yaitu persentase terhadap dana yang ditabung sedangkan bagi nasabah peminjam (debitur) akan membayar bunga yaitu persentase terhadap dana yang dipinjam oleh nasabah. Bank syari’ah, nasabah akan menerima atau membayar return bersifat tidak fixed yang disebut bagi hasil. Bagi penabung akan menerima bagi hasil yaitu persentase terhadap hasil yang diperoleh dari dana yang ditabung oleh nasabah yang kemudian dikelola oleh pihak bank. Peminjam (debitur) akan membayar bagi hasil yaitu persentase terhadap hasil yang diperoleh dari dana yang dipinjam oleh nasabah yang kemudian dikelolanya.

Bunga tersebut harus tetap dibayarkan oleh pihak bank kepada nasabah walaupun bank tidak mendapatkan keuntungan atau dalam keadaan yang bagaimanapun bunga harus dibayarkan tidak melihat apakah laba atau rugi. Bagi debitur juga harus membayar tingkat bunga yang telah disepakati baik dalam kondisi laba maupun rugi. Disinilah terjadinya eksploitasi saat tingkat bunga tinggi dan tingkat bunga rendah. Pada saat suku bunga tinggi yang dieksploitasi adalah debitur dan ini umumnya terjadi pada kondisi ekonomi sedang berkinerja buruk. Pada kondisi ini debitur mendapat keuntungan yang rendah atau bahkan mengalami kerugian tetapi tetap diharuskan membayar bunga yang tinggi. Pada kondisi buruk ini dapat terjadi proses predatori (yang kuat memakan yang lemah) dan intimidasi (memaksa membayar bunga walaupun tidak memungkinkan) kepada debitur. Pada kondisi kinerja ekonomi membaik umumnya suku bunga rendah maka pada kondisi ini pihak krediturlah yang dieksploitasi, debitur mendapat keuntungan yang tinggi tetapi krediur hanya mendapat bagian (bunga) yang rendah. Ketiga karakteristik inilah yang merupakan sifat dasar dari ribawi. Oleh karena itu sudah sepantasnyalah ribawi itu dihapuskan dari sistem perekonomian karena hanya akan menciptakan inefisiensi dan instabilitas dalam perekonomian.
a.         Spekulasi
Bagi spekulan, tidak penting apakah nilai menguat atau melemah. Bagi mereka yang penting adalah mata uang selalu berfluktuasi. Tidak jarang mereka melakukan rekayasa untuk menciptakan fluktuasi bisa ada momen yang tepat, biasanya suatu peristiwa politik yang menimbulkan ketidakpastian. Menjelang momentum tersebut, secara perlahan – lahan, mereka membeli rupiah, sehingga permintaan akan meningkat. Ini akan mendorong nilai rupiah menguat. Penguatan rupiah secara semu ini, akan menjadi makanan empuk para spekulan. Bila momentumnya muncul dan ketidakpastian mulai merebak, mereka akan melepas rupiah secara sekaligus dalam jumlah yang besar. Pasar akan kebanjiran rupiah dan tentunya nilai rupiah akan anjlok. Para spekulan meraup keuntungan dari selisih harga beli dan harga jual.makin besar selisihnya, makin menarik bagi para spekulan untuk bermain. Berdasarkan realitas itulah, maka konferensi tahunan Association of Muslim Scientist di Chicago, oktober 1998 yang membahas masalah ekonomi Asia dalam perspektif ekonomi syariah, menyepakati, bahkan akar persoalan krisis adalah perkembangan sektor finansial yang berjalan sendiri, tanpa terkait dengan sektor riil. Dengan demikian, nilai suatu mata uang dapat berfluktuasi secara liar.
b.        Greedines dan Konsumerisme
Salah satu sikap hidup kaum materialis dan kapitalis adalah konsumerisme, dimana hal ini digambarkan dengan kondisi masyarakat yang memiliki sikap hidup boros, sifat serakah maupun besar pasak daripada tiang. Hal ini diakibatkan karena lemahnya moral maupun iman seseorang. Alih-alih memenuhi kebutuhan hidup tapi tidak selaras dengan keadaan keuangan, akhirnya demi memenuhi kebutuhan duniawi tanpa ragu melakukan praktek-praktek yang menyimpang dari kaidah atau syariat agama. Dan ini sudah merajalela bahkan mendarah daging hingga ke level negara.
Belajar dari faktor-faktor yang memicu ketidakstabilan perekonomian, spekulasi dan bunga merupakan penyebab pokok instabilitas meskipun tidak secara langsung. Namun kedua faktor tersebut perannya sangat besar dalam investasi yang merupakan faktor inti dalam pembangunan perekonomian suatu negara. Dalam ekonomi Islam dikenal adanya stabilisator otomatis jika terjadi gangguan dalam perekonomian. Paling tidak ada 2 syarat utama yang harus dipenuhi dalam perekonomian, sehingga stabilisator otomatis dapat terbentuk yaitu pertama perbankan yang bebas riba dan kedua pasar modal yang bebas spekulasi.
Dalam sistem syari’ah tidak ada yang dieksplotasi dan tidak ada yang mengeksploitasi, risiko yang merupakan kondisi yang tidak pasti dimasa akan datang ditanggung bersama dan apabila mendapat keuntungan yang tinggi juga dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan diawal. Karena, ekonomi syari’ah melarang sesuatu (misalnya laba atau rugi) yang tidak pasti dimasa akan datang dibuat pasti dan ditentukan pada saat sekarang. Disi lain juga melarang sesuatu yang sudah pasti dibuat menjadi tidak pasti agar dapat melakukan spekulasi atau mengambil keuntungan untuk kepentingannya sendiri dengan merugikan atau merusak perekonomian secara umum. Perbankan syari’ah menerapkan sistem bagi hasil, pada kondisi terjadi laba maka akan membayar tingkat persentase bagi hasil yang telah disepakati, dalam kondisi impas tidak ada pembayaran dan pada kondisi mengalami kerugian maka kerugian tersebut juga dibagi bersama antara nasabah dengan pihak bank. Dalam perbankan syari’ah hubungan antara nasabah dengan bank adalah dalam bentuk kemitraan.
Sedangkan spekulasi terjadi ketika penjualan atau pembelian saham biasanya dilakukan dengan harapan mendapatkan keuntungan dari perubahan harga tanpa adanya partisipasi dalam aktivitas produksi. Sedangkan investasi ditujukan untuk membeli aset atau pengeluaran untuk barang-barang modal. Beberapa berpendapat bahwa sumber spekulasi ada tiga, yatu perbedaan suku bunga kredit, pasar mendatang, serta pembentukan harga saham dan modal akibat tekanan pasar. Kategori pertama sangat dilarang dalam Al-Quran, kategori kedua dilarang dalam hadits, dan yang terakhir merupakan alasan utama para spekulator bermain di pasar saham/bebas.
Dari semua hal diatas, satu hal mendasar yang perlu diingat adalah perlunya keseimbangan dan keadilan. Prakteknya masih sangat sukar menjalankan sistem ekonomi dengan konsep imbang dan adil, karena selama ini Indonesia masih menganut sistem kapitalisme yang cenderung bersifat bebas, dominasi kaum pemodal, persaingan yang tidak sehat, bahkan monopoli. Sedangkan dalam islam, sistem ekonomi harus dilakukan dengan adil, dimana setiap proses atau transaksi dilakukan harus didasarkan atas suka sama suka atau keridhaan sasing-masing, dan tanpa ada kebohongan, tipu menipu atau gharar. Sekalipun di era globalisasi yang identik dengan perdagangan yang bebas batasan, hambatan, serta rintangan.

Untuk mengembalikan stabilitas ekonomi, dan jawaban untuk keluar dari krisis yang berkepanjangan. Sebagai penutup dari makalah ini kami simpulkan beberapa langkah strategis sebagai jalan keluar menurut tinjauan atau perspektif ekonomi islam:
1.        Menjauhkan segala praktek sektor financial atau keuangan dari transaksi yang mengandung riba, termasuk transaksi maya di pasar saham. Menggantinya dengan sistem profit and loss sharing atau bagi hasil dan jual beli yang adil, serta melakukan kerjasama bisnis dengan prinsip kemitraan. Dengan mengadopsi berbagai prinsip-prinsip transaksi dalam ekonomi islam seperti mudharabah, musyarakah, qardu hasan, dll.
2.        Menghilangkan spekulasi, dalam hal ini bukan berarti islam melarang adanya pasar modal ataupun valuta asing. Akan tetapi bagaimana memformulasikan pasar modal yang mempertimbangkan aspek-aspek diantaranya penjualan dan pembelian yang dilarang dalam ajaran syariah harus dilarang secara hukum, harga jual saham harus diatur berdasarkan nilai intrinsiknya bukan nilai pasar, dan yang terakhir visualisasi standar neraca keuangan atau dengan kata lain harus ada audit dari akuntan publik.
3.        Zakat produktif dan pajak sebagai instrumen fiskal yang juga merupakan stabilisator ekonomi. Zakat dari berbagai kalangan yang memiliki kelebihan harta (baik zakat fitrah, zakat profesi, maupun zakat maal) dan dikelola dengan baik serta dibagikan dengan cara yang produktif, dampaknya akan lebih cepat bagi kestabilan ekonomi dibandingkan dengan program-program bantuan tunai langsung dari pemerintah yang kadang tidak tepat sasaran serta tidak mendidik penerimanya agar lebih berusaha untuk hidup lebih baik. Konsep tarif penghitungan dan penerimaan pajak yang diterapkan secara proporsional, akan menghindarkan suatu negara bila terjadi suatu gejolak ekonomi, sehingga tidak mengakibatkan krisis yang mendalam dan menghancurkan perekonomian.
4.        Bermuamalah atau bertransaksi dengan cara yang sesuai dengan syariah. Karena ternyata nilai-nilai akhlaqul karimah pemerintah dan pelaku bisnis sangat memainkan peranan penting dalam usahanya untuk menghindari dan mengatasi krisis ekonomi umat.


PUSTAKA:

Jusmaliani, dkk, 2008, Bisnis Berbasis Syariah, Jakarta: Bumi Aksara
M soekani, Jusmaliani, 2005 Kebijakan Ekonomi Dalam Islam, Yogyakarta: Kreasi Wacana

Koran Republika edisi 22-25 Desember 2012
http://zulfan122.blogspot.com/2012/04/ekonomi-islam-solusi-krisis-finansial.html
 


KRISIS EKONOMI TINJAUAN EKONOMI ISLAM

                                              Dari kacamata ekonomi islam, sebuah krisis tidak hanya dilihat dari segi kuantitatif atau...